Penyesuaian Diri



1. Pengertian penyesuaian diri
Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Runyon (1984), konsep penyesuaian diri sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa individu merupakan keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted dan maladjusted. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik terkadang tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkannya, membuat dirinya atau orang lain kecewa, merasa bersalah, dan tidak dapat lepas dari perasaan takut dan kuatir. Penyesuaian diri sebagai tujuan atau kondisi ideal yang diharapkan tidak mungkin dicapai oleh individu dengan sempurna. Tidak ada individu yang berhasil menyesuaikan diri dalam segala situasi sepanjang waktu karena situasi senantiasa berubah. Runyon (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah. Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan. Definisi penyesuaian diri menurut Atwater (1979) menambahkan penjelasan Schneiders tentang perubahan sebagai hasil penyesuaian diri. Atwater mengemukakan bahwa penyesuaian diri terdiri dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri individu dan lingkungan di sekeliling individu yang dibutuhkan untuk mencapai kepuasan dalam hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan. Universitas Sumatera Utara
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan.

2. Karakteristik penyesuaian diri
Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang normal meliputi tujuh karakteristik sebagai berikut :
a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality)
Penyesuaian diri yang baik dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi yang merusak. Individu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang baik akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik.
b. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (absence of psychological mechanisms)
Aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai.
c. Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sence of personal frustation)
Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi ataupun masalah yang dihadapi.
d. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction)
Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya.
e. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)
Proses penyesuaian diri yang baik selalu dapat ditandai dengan sejumlah pertumbuhan atau perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang individu menyelesaikan situasi atau ancaman bagi dirinya.
f. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience)
Adanya kesediaan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang baik.
g. Sikap-sikap yang realistik dan objektif (realistic and objective attitude)
Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap realitas yang dihadapi. Sikap yang realistik dan objektif didasarkan pada proses belajar. Penyesuaian diri yang ada pada individu terbagi dalam dua bentuk. Menurut Hartono & Sunarto (2002) terdapat penyesuaian diri yang baik dan yang buruk.

a. Penyesuaian diri yang baik
Hartono & Sunarto (2002) mengatakan bahwa dalam melakukan penyesuaian diri yang baik, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung.
Dalam situasi ini individu secara langsung mengahadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya, seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya.
2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi dan sebagainya.
3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.
Dalam cara ini, individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran ini kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.
4) Penyesuaian dengan subsitusi (mencari pengganti).
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya, gagal nonton film di bioskop, maka ia pindah nonton TV.
5) Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri.
Dalam hal ini, individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya, seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (mengarang). Dari usaha mengarang ia dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
6) Penyesuaian dengan belajar.
Dengan belajar, individu akan banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya, seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan.
7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.
Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula. Universitas Sumatera Utara
Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut dengan inhibisi. Di samping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
8) Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat.
Dalam situasi ini, tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah dipertimbangkan dari berbagai segi, yaitu segi untung dan ruginya.
b. Penyesuaian diri yang buruk
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian diri yang negatif. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu:
1) Reaksi bertahan
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Ia selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
a) Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya.
b) Represi, yaitu berusaha untuk menekan pengalamannya yang dirasakan kurang enak ke dalam alam tak sadar. Ia berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
c) Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seorang pemuda yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
d) Anggur kecut (sour grapes), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya, seorang siswa yang gagal mengetik mengatakan bahwa mesin tiknya rusak, padahal ia sendiri tidak bisa mengetik.
2) Reaksi menyerang
Orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah menunjukkan tingkah laku yang bersifat menyeranag untuk menutupi kegagalannnya. Ia tidak mau menyadari kegagalannya. Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku:
a) Selalu membenarkan diri sendiri
b) Mau berkuasa dalam setiap situasi
c) Mau memiliki segalanya
d) Bersikap senang mengganggu orang lain
e) Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan
f) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka
g) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
h) Keras kepala dalam perbuatannya
i) Bersikap balas dendam
j) Memperkosa hak orang lain
k) Tindakan yang serampangan
l) Marah secara sadis
m) Reaksi melarikan diri

Dalam reaksi ini, orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya. Reaksinya tampak dalam tingkah laku seperti berfantasi (memunculkan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan seolah-olah sudah tercapai), banyak tidur, minum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika dan regresi (kembali pada tingkah laku yang semodel dengan tingkat perkembangan yang /lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil), dan lain-lain. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu penyesuaian diri yang baik dan penyesuaian diri yang buruk.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah :
a. Keadaan fisik (physical conditions)
Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan kematangan (development and maturation)
Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.
c. Kondisi psikologis (psychological determinants)
Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Banyak variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri dan lain-lain.
d. Keadaan lingkungan (environmental conditions)
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.
e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan (cultural and religion)
Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keadaan lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar