Penyesuaian Diri
1. Pengertian penyesuaian diri
Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Runyon (1984), konsep penyesuaian diri sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa individu merupakan keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted dan maladjusted. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik terkadang tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkannya, membuat dirinya atau orang lain kecewa, merasa bersalah, dan tidak dapat lepas dari perasaan takut dan kuatir. Penyesuaian diri sebagai tujuan atau kondisi ideal yang diharapkan tidak mungkin dicapai oleh individu dengan sempurna. Tidak ada individu yang berhasil menyesuaikan diri dalam segala situasi sepanjang waktu karena situasi senantiasa berubah. Runyon (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah. Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan. Definisi penyesuaian diri menurut Atwater (1979) menambahkan penjelasan Schneiders tentang perubahan sebagai hasil penyesuaian diri. Atwater mengemukakan bahwa penyesuaian diri terdiri dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri individu dan lingkungan di sekeliling individu yang dibutuhkan untuk mencapai kepuasan dalam hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan. Universitas Sumatera Utara
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan.
2. Karakteristik penyesuaian diri
Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang normal meliputi tujuh karakteristik sebagai berikut :
a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality)
Penyesuaian diri yang baik dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi yang merusak. Individu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang baik akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik.
b. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (absence of psychological mechanisms)
Aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai.
c. Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sence of personal frustation)
Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi ataupun masalah yang dihadapi.
d. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction)
Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya.
e. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)
Proses penyesuaian diri yang baik selalu dapat ditandai dengan sejumlah pertumbuhan atau perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang individu menyelesaikan situasi atau ancaman bagi dirinya.
f. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience)
Adanya kesediaan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang baik.
g. Sikap-sikap yang realistik dan objektif (realistic and objective attitude)
Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap realitas yang dihadapi. Sikap yang realistik dan objektif didasarkan pada proses belajar. Penyesuaian diri yang ada pada individu terbagi dalam dua bentuk. Menurut Hartono & Sunarto (2002) terdapat penyesuaian diri yang baik dan yang buruk.
a. Penyesuaian diri yang baik
Hartono & Sunarto (2002) mengatakan bahwa dalam melakukan penyesuaian diri yang baik, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung.
Dalam situasi ini individu secara langsung mengahadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya, seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya.
2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi dan sebagainya.
3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.
Dalam cara ini, individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran ini kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.
4) Penyesuaian dengan subsitusi (mencari pengganti).
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya, gagal nonton film di bioskop, maka ia pindah nonton TV.
5) Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri.
Dalam hal ini, individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya, seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (mengarang). Dari usaha mengarang ia dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
6) Penyesuaian dengan belajar.
Dengan belajar, individu akan banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya, seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan.
7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.
Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula. Universitas Sumatera Utara
Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut dengan inhibisi. Di samping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
8) Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat.
Dalam situasi ini, tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah dipertimbangkan dari berbagai segi, yaitu segi untung dan ruginya.
b. Penyesuaian diri yang buruk
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian diri yang negatif. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu:
1) Reaksi bertahan
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Ia selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
a) Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya.
b) Represi, yaitu berusaha untuk menekan pengalamannya yang dirasakan kurang enak ke dalam alam tak sadar. Ia berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
c) Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seorang pemuda yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
d) Anggur kecut (sour grapes), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya, seorang siswa yang gagal mengetik mengatakan bahwa mesin tiknya rusak, padahal ia sendiri tidak bisa mengetik.
2) Reaksi menyerang
Orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah menunjukkan tingkah laku yang bersifat menyeranag untuk menutupi kegagalannnya. Ia tidak mau menyadari kegagalannya. Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku:
a) Selalu membenarkan diri sendiri
b) Mau berkuasa dalam setiap situasi
c) Mau memiliki segalanya
d) Bersikap senang mengganggu orang lain
e) Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan
f) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka
g) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
h) Keras kepala dalam perbuatannya
i) Bersikap balas dendam
j) Memperkosa hak orang lain
k) Tindakan yang serampangan
l) Marah secara sadis
m) Reaksi melarikan diri
Dalam reaksi ini, orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya. Reaksinya tampak dalam tingkah laku seperti berfantasi (memunculkan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan seolah-olah sudah tercapai), banyak tidur, minum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika dan regresi (kembali pada tingkah laku yang semodel dengan tingkat perkembangan yang /lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil), dan lain-lain. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu penyesuaian diri yang baik dan penyesuaian diri yang buruk.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah :
a. Keadaan fisik (physical conditions)
Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan kematangan (development and maturation)
Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.
c. Kondisi psikologis (psychological determinants)
Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Banyak variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri dan lain-lain.
d. Keadaan lingkungan (environmental conditions)
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.
e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan (cultural and religion)
Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keadaan lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan.
A. Keyakinan Diri
1. Pengertian Keyakinan Diri
Keyakinan diri merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep keyakinan diri pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Keyakinan diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986,) Pervin memberikan pandangan yang memperkuat pernyataan Bandura tersebut. Pervin menyatakan bahwa keyakinan diri adalah kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus (Smet, 1994). Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri adalah perasaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang mungkin tidak dapat diramalkan dan mungkin menimbulkan stres.
2. Dimensi Keyakinan Diri
Bandura (1997) mengemukakan bahwa keyakinan diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Tingkat (level)
Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki keyakinan diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
b. Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan keyakinan diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki keyakinan diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.
c. Kekuatan (strength)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Keyakinan diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri mencakup dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength).
Universitas Sumatera Utara
3. Sumber-Sumber Keyakinan Diri
Bandura (1986) menjelaskan bahwa keyakinan diri individu didasarkan pada empat hal, yaitu:
a. Pengalaman akan kesuksesan
Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap keyakinan diri individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya keyakinan diri, khususnya jika kegagalan terjadi ketika keyakinan diri individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan keyakinan diri individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.
b. Pengalaman individu lain
Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Keyakinan diri juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan keyakinan diri individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan
Universitas Sumatera Utara
yang memungkinkan keyakinan diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.
c. Persuasi verbal
Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan.
d. Keadaan fisiologis
Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, keyakinan diri bersumber pada pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu.
4. Proses-proses keyakinan diri
Bandura (1997) menguraikan proses psikologis keyakinan diri dalam mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
a. Proses kognitif
Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepatuntuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.
b. Proses motivasi
Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai-pengharapan.
Keyakinan diri mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang memiliki keyakinan diri akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
individu dengan keyakinan diri yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan. Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome expectation.
c. Proses afeksi
Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.
Universitas Sumatera Utara
d. Proses seleksi
Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Keyakinan diri dapat membentuk hidup individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses keyakinan diri meliputi proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi, dan proses seleksi.
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup
serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu
berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada
saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha
memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan
suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat
adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan
wanprestasi.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita
lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir
seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka,
negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA)
baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya
bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya
terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang
berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang
bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah
sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1.
Apa arti dari sengketa Tanah ?
2.
Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian
sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa timur ?
3.
Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai
alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui arti dari sengketa tanah.
2.
Untuk mengetahui penyelesaian kasus
penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa
timur.
3.
Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan
sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
BAB II
TINJAUAN UMUM SENGKETA
TANAH
A. Pengertian
Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus
pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di
media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan
tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
1.
Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
2.
Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan
peduli akan kepentingan / haknya.
3.
Iklim keterbukaan yang digariskan
pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict
of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh
konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum;
badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap
kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi /
penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan
sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang
atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku.
B. Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional)
yaitu:
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan
dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah
ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1.
mengenai masalah status tanah,
2.
masalah kepemilikan,
3.
masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi
dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat
yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan
pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih
lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka
diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status
quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB)
dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan
setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata
Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas
keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat
dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional
untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah.
Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator
di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian
secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti
tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat
dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila
perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam
penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan
tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun
2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
C. Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan
membuktikanadalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis,
terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil.
Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam
akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan
antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik
mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
a.
Sertifikat
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah
yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang
mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa
yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan
suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
D. Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan
terjadinya sengketa tanah:
1.
Persoalan administrasi sertifikasi tanah
yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang
dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2.
Distribusi kepemilikan tanah yang tidak
merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk
tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik
secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan
distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung
kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani
atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga
murah.
3.
Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah
bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian?
karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan
agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict
of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh
konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum;
badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional
untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah.
Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator
di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian
secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti
tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat
dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila
perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah
yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang
mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa
yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan
suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
PENGATURAN HAK MILIK ATAS TANAH DAN PENDAFARAN TANAH
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sudah 48 tahun usia Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan
sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia
tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam
penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam
juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia
berkubur.
Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia
(dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang
lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya
hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap
tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan
padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA
diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Konversi adalah pengaturan dari hak-hak
tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA (A.P.
Parlindungan, 1990 : 1).
Secara akademis dapat dikemukakan bahwa
penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan
persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan
tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara
vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada
kaitannya dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada
masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan
(pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai
kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan
agraria.
Di satu pihak masyarakat masih tetap
menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh
komunitasnya, akan tetapi di lain pihak, hukum agraria nasional belum
sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut.
2. Rumusan Masalah
Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian
latar belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah pengaturan hak milik atas tanah dan pendaftaran tanah ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengaturan Hak Milik Atas Tanah
Adapun hak-hak atas tanah tersebut menurut
Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri dari :
a. Hak Milik.
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai.
e. Hak Sewa.
f. Hak Membuka Tanah.
g. Hak Memungut Hasil Hutan.
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak yang tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara.
Hak atas tanah meliputi semua hak yang
diperoleh langsung dari negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal
dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut
hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, di mana
pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya
sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mdalui perjanjian dimana
satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.
Hak atas tanah yang diperoleh dari negara
terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan. Tiap-tiap hak mempunyai karakteristik tersendiri dnn semua harus
didaftarkan menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 20 UUPA
hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini
tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya
yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka beriakunya UUPA, kecualiakan ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal
27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila:
a. Tanahnya jatuh kepada negara :
1). Karena
pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2). Karena
penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3). Karena
diterlantarkan
4). Karena
ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)
b. Tanahnya musnah.
Pada asasnya badan hukum tidak mungkin
mempunyai tanah dengan hak milik kecuali ditentukan secara khusus oleh
Undang-undang atau peraturan lainnya, seperti yang telah ditentukan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1973 yaitu:
a.
Bank-bank
yang didirikan oleh negara.
b.
Perkumpulan-perkumpulan
Koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan undang-undang Nomor 79 Tahun 1958.
c.
Badan-badan
keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah mendengar
menteri agama.
d.
Badan-badan
sosial yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah mendengar menteri
sosial.
Penjelasan umum UUPA
menerangkan bahwa dilarangnya badan hukum mempunyai hak milik, karena memangnya
badan hukum tidak periu mempimyai hak milik tetapi cukup bagi
keperluan-keperluan yang khusus yaitu hak-hak lain selain hak milik.
3. Pendaftaran Tanah
a.
Pengertian
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan
administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam
pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran
tersebut memberikan suatu kejelasan
status terhadap tanah. Dalam Pasal 1 PP
No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik
atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui
pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran
tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan
suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah
hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
b.
Landasan
Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok
Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan
dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal
19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah
di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang
bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah
telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1
pasal ini meliputi :
a)
Pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah.
b)
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut.
c)
Pemberian
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
d)
Pendaftaran
tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan
lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
e)
Dalam
Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah,
sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan
kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam
arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut
dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap
peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2
merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya
peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak
tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1
merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna
usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak
tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat
1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta
sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas
dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat
serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
4.
Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum
atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur
tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin
kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk
mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat
‘Rech Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di
selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan
mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya,
letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang
melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan
pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan
suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P.
Parlindungan; 1990 : 6).
a. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu
pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang
dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya
sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka
telah diketaui berapa luasnya serta batas – batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang
tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus
dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan
pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik
penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu
sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang
terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya
sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti
tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah
menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut
adalah sebagai berikut::
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan
rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mcngadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan.
Di dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari . pendaftaran tanah tersebut terdiri dari:
a. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu
himpunan yang terkecil.
b. Dari peta Desa demi Desa itu akan
memperlihatkan bermacam-macam hak atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih
dikuasai oleh negara.
c. Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor
pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan
juga bangunan yang ada di dalamnya.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hak Milik adalah hak terkuat dan terpenuh, tetapi di atas itu ada hak pemerintah untuk
mempergunakan tanah demi kepentingan umum dan pemilik hak milik di berikann
ganti rugi.
Pendaftaran hak atas tanah adat
menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sebelum didaftarkan harus
dikonversi terlebih dahulu. Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki
bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh
Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan
Nasional, prosesnya dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas
tanah adat yang tidak mempunyai bukti dilakukandengan proses pengakuan hak.
2. Saran
Seyogyanya strategi pembangunan hukum
agraria nasional dapat menampung aspirasi masyarakat hukum adat. Antara lain :
1. Agar pemasyarakat UUPA terus dilakukan
sehingga masyarakat mengetahui secara baik tentang peraturan pertanahan. Bahkan
UUPA yang sekarang sepertinya sudah sangat ketinggalan zaman juga perlu
diadakan penyesuaian.
2. Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya
terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga
masyarakat akan mengerti pentingnya sertifikat Tanah Hak Milik, sehingga perlu
dilakukan pendaftaran Tanah.
3. Dengan berlakunya PP No. 24
Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah diIndonesia bukan diutamakan di daerah
perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat
ekonomi lemah, apalagi masyarakat di pedesaan kurang begitu mengerti bagaimana
pendaftaran tanah dan pentingnya pendaftaran tanah.
Langganan:
Postingan (Atom)